Majalah Asy Syariah Edisi 100 Demokrasi Merusak Moral Generasi 1435 H/2014

Sampul Majalah Asy Syariah Edisi 100 Demokrasi Merusak Moral Generasi 1435 H 2014

Sampul Majalah Asy Syariah Edisi 100 Demokrasi Merusak Moral Generasi 1435 H 2014Majalah Asy Syariah Edisi Vol. IX No. 100 1435 H/2014 dan Lembar Sakinah
Khazanah Ilmu-ilmu Islam, Ilmiah di atas Sunnah
Judul Headline: Demokrasi Merusak Moral Generasi, Kedaulatan Negara Berada di Tangan Partai, Mencalonkan diri Jadi Pemimpin, Meraih Impian dengan Klenik, Ruqyah adalah Kesyirikan? Jangan Mudah Minta Cerai, Mempersiapkan Masa Depan Anak, Warisan Bagi Istri Yang Ditalak
Penerbit: Oase Media
Ukuran: buku sedang 16 cm x 24 cm, tebal: 112 halaman, berat: 150 gr
Fisik: sampul: ivory, doff, soft cover, isi: hvs 70 gsm, 8 halaman colour
Harga: Rp 12.000

Majalah Asy Syariah Edisi 100 Vol. IX1435 H/2013 ini akan membahas tentang permasalahan Demokrasi yang sudah menjadi barang yang laris di ummat Islam. Juga akan disinggung tentang perkara-perkara lainnya yang tidak kalah pentingnya seperti pengaruhnya pada generasi muda.

Pengatar Redaksi Majalah Asy Syariah Edisi 100 Vol IX 1435 H 2014: Demokrasi Merusak Moral Generasi

Menunggu Hancurnya Demokrasi

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hajatan politik bernama Pemilu benar-benar menguras energi bangsa ini. Tak hanya soal anggaran pemerintah atau dana yang dirogoh dari kantong pribadi partisipan, tetapi juga hampir seluruh sumber daya yang ada all out dikerahkan. Semuanya demi sebuah prestise kekuasaan mengatasnamakan rakyat. Lebih-lebih persiapannya sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya. Pileg dan pilpres berakhir, pemilukada di depan mata. Belum pemilihan dalam liugkup lokal seperti pilkades. Ini terus berlangsung dalam siklus lima tahunan, Jadi dari tahun ke tahun, kekuasaan selalu menjadi fokus dan tema panas.

Jika sudah pernah duduk di legislatif sebelumnya, periode berikutnya pun berupaya “eksis” lagi. Demikian juga dengan jabatan kepala daerah, andaikan tidak dibatasi aturan, sangat mungkin sampai seumur hidup jabatan itu akan terus dikejar. Dahulu pernah jadi menteri, “turun pangkat” jadi gubernur atau wakil gubernur atau walikota pun tak masalah, yang penting kekuasaan itu dalam genggaman. Alhasil, kutu loncat politik pun bermunculan. Idealisme atau garis ideologi partai menjadi omong kosong. Yang penting terpilih, yang penting bisa kembali duduk di lingkaran kekuasaan. Membela rakyat yang acap jadi jargon pun terbang entah ke mana.

Demokrasi menjadi kian tidakjelas, kala demi menjaring suara sebanyak-banyaknya, artis-artis dengan akhlak yang juga tidak jelas malah dimunculkan. Tidak sedikit pula caleg dengan latar belakang ekonomi lemah, nekat “maju” dengan terlilit utang besar.

Tidak heran, jika segala cara kemudian dilakukan: politik uang, kampanye hitam, obral janji, hingga mendatangi dukun. Maka menjadi aneh, jika kita banyak berharap dengan orang-orang aneh semacam ini.

Itulah politik yang penuh intrik. “Wakil rakyat” akhirnya tak lebih jadi jembatan untuk memperkaya diri. Padahal ada anomali demokrasi yang jauh lebih besar dari semua itu. Demokrasi yang berakar dari filosofi Yunani, telah menuhankan suara terbanyak sebagai standar untuk mengambil keputusan “terbaik”. Suara mayoritas dan minoritas seakan-akan menjadi Rabb yang membuat syariat atau menakar sebuah kebenaran.

Prinsip-prinsip demokrasi juga memberi celah yang lebar kepada kalangan non-Islam untuk duduk di kursi pemerintahan, karena al-wala’ wal bara’ yang menjadi dasar akidah setiap muslim, dikaburkan. Tak heran, deal-deal politik atau koalisi antara partai (yang mengaku) Islam dan partai atau tokoh sekular atau non Islam menjadi biasa. Partai (yang mengaku) Islam yang memiliki caleg nonmuslim justru merasa bangga, partainya adalah partai terbuka, inklusif, dan berwawasan kebangsaan. Akhirnya, umat lagi yang jadi korban. Selain terkotak-kotak pada partai dan arus politik, sebagian umat Islam “dipaksa” menyumbang suara demi kandidat non muslim. Na’udzubillah.

Jangan pernah berasumsi bahwa demokrasi adalah satu-satunya sistem yang paling bisa diterima dan paling dekat dengan Islam. Jauh sekali. Kita semestinya meyakini, tujuan dan hasil yang baik harus ditempuh dengan cara dan sistem yang baik pula. Betapa banyak sistem di dunia yang akhirnya hancur luluh tertepikan zaman, gagal eksis, karena dianggap tidak bisa memberikan sesuatu yang baik. Seperti itulah nasib yang akan dialami sistem-sistem buatan manusia.

Jadi, jangan pernah berharap kebaikan dan sistem yang rusak. Sembari kita terus berdoa kepada Allah, agar Ia memberikan jalan yang terbaik, yakinlah demokrasi pun sebentar lagi akan terlumat oleh waktu.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dapatkan Majalah Asy Syariah Edisi 100 Demokrasi Merusak Moral Generasi 1435 H/2014 dan Lembar Sakinah di toko griyasunnah.com